Kamis, 12 Januari 2012

-Temaram Episode-


PART 1
Akhir semester lima. Demam hinggap mewarnai rutinitasku. Bukan hanya demam biasa, tapi juga demam yang mengguyur pikiranku yang kala itu tengah diterjang laporan yang bertubi-tubi proses penganalisaannya. Laporan pertama membutuhkan perencanaan, penyelesaian hingga pengembangan dari sebuah kasus, laporan kedua dituntut untuk memiliki daya imajinatif yang tinggi hingga dapat berbentuk rangkaian usaha, dan laporan ketiga membutuhkan pemikiran yang dapat memicu peningkatan kehidupan masyarakat dengan usulan-usulan kebijakan yang akan dicanangkan terhadap suatu daerah. Tiga serangkai ini sepertinya memang sudah bersahabat sejak lama, namun terpisahkan oleh waktu dan akhirnya dipertemukan olehku. Entah jurus ampuh apa yang mereka miliki hingga dimanapun aku berada, tak ada satupun yang kelupaan. Ehh lupa !!! Perkenalkan, aku Faradiny Wiratmadja. Sapaan akrabku diny, tapi ga jarang juga dipanggil farah. Filosofi namaku itu entah didapatkan di mana. Mungkin orangtuaku sudah mempunyai feeling bahwa anaknya ini akan menjadi anak yang faraah banget sejak menginjak usia dini, hehehe. Dan Wiratmadja itu adalah nama yang berhubungan dengan papaku sendiri yang dari dulu hingga sekarang berkecimpung di dunia wiraswasta yang meski telah ditipu ribuan kali akan tetap tahan banting bagaikan baja. Jadilah Wiratmadja, huhuuhu peace deeh pa J...
Terlahir sebagai anak sulung dari lima bersaudara membuatku jatuh bangun untuk tampil menjadi sosok wanita tangguh nan pemberani yang siap membela dan melindungi adik-adiknya apapun dan bagaimana pun keadaannya. Ribeet yaa, tapi itulah tanggung jawabku sebagai seorang kakak. Tapi seketika aku merasa sedikit kehilangan percaya diri itu ketika tengah berkonsultasi dengan seorang dokter. Iya, dokter pilihan, kepercayaanku. dr. Razad tepatnya. Dia merawatku sejak kecil, setiap kali sakit, dia yang paling mengerti kondisiku. Mulai dari penyakit kecil hingga penyakit yang membinasakan, demam berdarah binti malaria misalnya. Untunglah, penyakit-penyakit itu hanya mampir sebentar denganku, mungkin hanya ingin merebut canda gurauku sembari berbaring di tempat tidur, tepatnya kamar rumah sakit. Aku memang sudah sering sakit-sakitan, eiits tapi jangan salah, aku bukan anak yang penyakitan.
Sore itu sekitar pukul 17.00 WITA, aku berkunjung ke klinik dokter yang  berada di jalan Veteran. Tidak perlu mengantri seperti pasien yang lainnya. Padahal panjang antrian naujubileeh, #hhfiiiuuh dalam hati. Tapi ternyata tidak, aku tidak harus mengantri. Tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang dengan sapaan dan logat khasnya “Diny, hei. Ngapain ? long time no see ya. Udah semester berapa dek?” Yaa, itulah kak Adam, anak dari dokter Razad. Kami sudah akrab, karena memang sering dijahili dari kecil. Udah, ga usah ngantri, lanjutnya. Kamu sakit ya? Langsung masuk aja. Logatnya memang kejawa-jawaan, karena dia sudah berdomisili lama di daerah Pluit, Jakarta Selatan. Waah serius kak?? Ga perlu ngantri nih? Alhamdulillah, emang lagi buru-buru sih kak, jawabku. Ya udah, abis pasien yang di dalam, kamu selanjutnya. Tenang aja, kakak yang atur.. Akhirnya, masuk juga aku. Dokter razad pun akhirnya mulai serius bertanya, meskipun pertanyaan itu sudah aku hafal di luar kepala. Biasalah, masalah keluhan. Saya cuman sakit kepala biasa, dan kadang-kadang demam bahkan kedinginan dadakan dok. Ya sudah, minum obat biasa saja. Saya khawatir, ada masalah serius sama kamu Din, soalnya tidak biasanya kamu mesti datang rutin ke klinik hanya untuk periksa. Ada baiknya kalau minggu depan kamu ke RS. Akademis, masih ingat dong tempatnya. Saya tunggu ya, tegasnya.
Lalu sesaat setelah itu, langsunglah aku kembali ke rumah, istirahat dan amnesia sesaat terhadap tiga serangkai itu. Hari berlalu seperti biasanya, kuliah, asistensi, googling, facebook, dll. Hingga seminggu tak terasa dan aku harus ke rumah sakit penuh kenangan itu. Suntik, cek darah, sinar-X, dan pemeriksan lainnya. Dokter menyarankan agar aku lebih rutin check upnya, setidaknya 2 kali semingu. ku iyakan saja, kenapa tidak?. Okay pak dokter J … Check up berikutnya, hasil pemeriksaan minggu lalu tak kunjung diperlihatkan juga. Layaknya seorang anak yang merengek  pada sang ayah, aku meminta dokter memperlihatkan hasil pemeriksaanku. “Ihh dokter, mana sih hasilnya. Penasaran nih. Kan aku udah gede, masa iya masih ga percaya juga”. Emmmh, Diny, bukannya saya ga mau ngasih, tapi saya juga masih belum percaya. Sejak kecil, kamu adalah pasien saya, tentu saya tahu betul bagamana perkembangan kesehatan kamu. Maka dari itu, saya masih tidak percaya dengan hasil ini. Ahh, semakin penasaran aku dibuat oleh papa kedua bagiku ini. Maka tidak salah kalau aku komat-kamit dalam hati --- Ya ampuun dokter, kayak ga tau aku aja nih. Aku mah santai orangnya, penyakitkan ada obatnya. Apa gunanya dokter tanpa penyakit? Di mana ilmunya kalo ga bisa nyembuhin penyakit? Iya kan iya kan? Hehehe..  Kataku sambil meledeknya. Tapi tidak terbit setitik senyum pun di wajah dokter yang ramah ini. Serius, tidak seperti biasanya. Ruangan hening sesaat, lalu tiba-tiba jatuh setetes embun dari pelupuk matanya. Dokter kenapa? Aku heran dibuatnya. Seraya berbicara sebagai orang tua sendiri, dia mengungkapkan pernyataan yang lumayan membuat jantungku hampir bertukar posisi dengan hatiku. Ini hanya tanda-tanda, dan sebaiknya kamu banyak istirahat. Jangan lupa minum obat-obatan herbal yaa nak, ucapnya. Iyaa dok, tapi ini tuh tanda-tanda apaan? Ga ngerti nih, gerutuku. Lalu dia terbahak-bahak sembari berkata, ini tanda-tanda kalau pasien kecilku ini sudah mulai dewasa. Ahh ga lucu.. mukaku kusut, bibir dimonyongin sejadi-jadinya. Al-hasil, check up gratis, pulang pun dapat ongkos taxi, yaa lumayanlah RP 100.000,- hehehe…
Seminggu, dua minggu, tiga minggu dan minggu-mingu selanjutnya berlalu dengan segala kejadian tak terduga di kampus dan rumahku. Laptop dan printer rusak secara bergantian, bahkan pernah bersamaan. Catatan hilang, pulpen yang jumlahnya tak terhingga hilang dipinjam teman, duit hilang, kekasih pun hilang. Uupsss salah !!!!
Tapi semua itu terbayarkan dengan hadirnya sosok malaikat suciku yang kini juga ikut-ikutan menghilang ditelan waktu. Saran dokter untuk memperbanyak istirahat, menjaga kesehatan dan sebagainya, mana ada yang ku pedulikan meski check up rutin tetap dijalankan. Laporan segini banyaknya pake istirahat plus-plus??? Insya Allah nilai yang keluar juga beristirahat dan minus minus tentunya. Huaaaa ogaaah! Begadang dan begadang. No milk again, and say yes to coffee. Tak terasa waktu di penghujung semester lima sisa sedikit lagi. Lincah selincah-lincahnya aku bergerak. Bahkan untuk menyelesaikan laporan, aku rela mencari alamat asisten pukul 9 malam bersama Nisa teman kelompokku, nyasar pula di sekitar daerah Antang. But it’s fun, I am okay, everything's undercontrol guys.. terbayar sudah semua rasa lelahku ini dengan menginap di rumah koordinator asisten dan berdiskusi hingga pukul 03.00 dini hari sampai aku mengerti proses penganalisaan yang baik dan benar itu seperti apa. Hari-hari yang dinanti itupun tiba. Yaaa “SEMINAR”. Semua deg-degan, ku dengarkan saja lantunan Lady Gaga---eh, eh (nothing else I can say). Ku mulai dengan bismillah, ku akhiri dengan Alhamdulillah. Seminar selesai.
Astagaaa, dasar pikun. Aku lupa check up, seharusnya 3 hari yang lalu jadwalku. Tapi pasti dokter juga mengerti kesibukanku sebagai mahasiswa. Begitu sampai di ruangan dokter, ku teguk air mineral yang sengaja disiapkan untukku. Glek glekk glekk. Ahh, leganya.. Dok, seminarku sudah selesai. Bahagia deh dok rasanya, berasa beban dunia musnah seketika. Oyaa, bagus dong. Nah Din, sekarang dokter sudah bisa jujur sama kamu kalau begitu. Begini Din, reflekskan pikiran kamu dulu, tenang, tarik nafas yang dalam, dan berdoalah. 3 menit kemudian---Berdasarkan hasil pemeriksaan yang sudah kami lakukan secara berturut-turut, maka tidak ada keraguan lagi Din. Tapi Tuhan Maha Segala-galanya. Kamu percaya itu kan? Ceramahnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Iya dok, iya, kapan nggaknya sih Diny ga percaya sama dokter. Baguslah kalau begitu, saya lega. Singkatnya, saya hanya ingin menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan kamu ini positif menunjukkan bahwa Faradiny Wiratmadja mengidap kanker darah stadium 1. Pernyataan ini bagaikan ayat baru dalam kehidupanku yang diiringi tarian Israil dan seruling Israfil. Penyakit berbahaya yang tidak pandang bulu, penyakit yang siap memisahkanku dengan siapa saja di dunia ini, penyakit yang membuatku terus menangis sepanjang perjalanan pulang, penyakit akibat kelalaianku akan diriku sendiri, penyakit yang memutus tali impianku, penyakit yang mengatur hidupku untuk tidak begini dan tidak begitu.  KANKER DARAH !!! Aku yang sedari tadi tersenyum, lunglai memelas dan seketika itu juga aku pingsan di hadapan dokter. Dokter yang memvonisku Tuhan. Tapi dia adalah dokter terbaik yang aku punya, dia adalah makhluk paling pengertian yang aku rasa. Dia bahkan rela tutup mulut di hadapan orang tuaku, di hadapan sahabat karibnya sendiri. Iya, dialah papa keduaku, Dokter Razad. Tak ada secuil tangisanpun dari mata ini, hanya sepintas senyum penuh kehampaan yang tersembunyi dalam kerapuhanku. Dokter janji yaa ga ngasih tau siapa-siapa tentang ini, janji yaa, janji yaa. Iya, janji nak, lirihnya.. kupeluk dokter saat itu juga. Inilah akhir dari semester limaku. Pengakuan!
***
Sementara di balik itu semua, ku coba untuk menjadi manusia acuh yang seolah-olah sehat. Aku rasa aku butuh refreshing. Tak ada salahnya aku menemani tanteku ke Surabaya dan alih-alih ke Jakarta. Refreshing yang tidak terlalu ku nikmati, sesak, hanya lama dalam perjalanan. Setelah aqiqahan di Surabaya selesai, akhirnya ada kesempatan untuk ke Jakarta. Otw Terminal Pasar Turi. Inilah pengalaman untuk pertama kalinya aku menggunakan kereta api untuk sampai tujuan. Jakarta.. welcome Diny. Sesampainya di stasiun, aku dijemput oleh teman facebook. Yaa teman facebook, karena kebetulan dia adalah sahabat dari kak Nico, teman kecilku dulu. Namanya Putra. Yaa tinggi semampai, kulit putih nyaris tanpa noda dengan berbagai gaya, tingkah, dan bahasa yang kocak. Beda dengan kak Nico yang tinggi menjulang dan berkulit agak kecoklatan ini yang selalu bersikap tenang dan terlihat serius dalam setiap tindakannya. Lagi-lagi mereka berprofesi sebagai dokter. Emang ga ada profesi lain apa di dunia ini.. ku tanyakan pada kak Putra kenapa bukan kak Nico saja yang menjemputku, lalu kak Putra menjawab bahwa kak Nico sedang mempersiapkan kamar untukku. Idiih kayak housekeeping aja nih kak Nico. Hanya itu pertanyaanku, dan tanpa sadar aku ketiduran di mobil. 35 menit kemudian, aku sampai di rumah Kak Nico. Waaaaaw, kereeen banget rumahnya. Senang rasanya disambut oleh Kak Nico dan keluarganya, senang bertemu dengan mereka kembali, maklumlah, sudah belasan tahun kami terpisah oleh laut Jawa dan laut Sulawesi. Ga mungkin gue nyelamkan ?   -_-“
Hallooo sayang, apa kabar ? sehat kan? Sambut tante Tiara, mami kak Nico. Saking lamanya basa basi dengan tante Tiara, kak Nico berkokok juga dan menyilahkanku untuk masuk dan segera beristirahat. Sosok wanita asing tiba-tiba muncul dihadapanku, Bi Sumi namanya. Bi Sumi adalah pembantu yang sudah bekerja lama dengan Kak Nico, kalo ditaksir usianya sekitar 56 tahun. Loh, om Alfi kemana kak? Kok ga keliatan, tanyaku penasaran. “Ooh, papi lagi ga ada, ada proyek yang mesti dia seleseiin”, kata Kak Nico. Kuperhatikan gaya bicaranya, nyaris ga ada perubahan, tetap tenang penuh wibawa. Lalu aku bergegas mandi dan tidur Selama tiga jam. Udah hampir siang, aku bangun dan bahagianyaaaa. Di luar sudah dipersiapkan banyak ice cream kesukaanku. Mana mungkin dihabiskan sebanyak ini kak. Kak Nico hanya tertawa dan berkata, ini mah kalo diitung mundur selama belasan tahun masih kurang banget Din, udah abisin aja. Ku lihat di sofa hanya ada kami bertiga, aku, Kak Nico dan si kocak Kak Putra. Tanpa pikir panjang, kutarik Tante Tiara dan bi Sumi yang sedang sibuk-sibuknya di dapur untuk ikut menikmati hidangan beku ini. Jadilah kami keluarga ice cream yang sakinah mawaddah warahmah, kak Nico dan Tante Tiara berpasangan, kak Putra dan bi Sumi juga musti berpasangan, hahhahahaha dan aku berperan sebagai anak.
Lalu setelah itu kami makan siang dan berbincang-bincang. Aku sampaikan bahwa aku hanya sehari di sini, dan besok mesti balik ke Makassar, soalnya masih kuliah. Kak Nico yang mendengar itu, seusai makan siang diam-diam tengah memesankan tiket kepulanganku. Aku berharap pulang pagi, tapi dapatnya malah siang, sekitar pukul 12.00WIB.
Aku tahu maksudnya apa, kenapa dia memesan tiket dengan penerbangan siang. Alasannya sungguh klasik, full, padahal kangennya yang masih full. Saat tengah bermain facebok, kak Nico memanggilku dan terjadilah pembicaraan empat mata. Sangat serius karena ga ada si Mr.Tukul sebagai hostnya. Din, kamu udah semester berapa sekarang? Kira-kira seleseinya kapan? Pengen kerja atau lanjutin S2? Itulah sederetan pertanyaan yang dilontarkannya. Dan pertanyaan terakhir, pertanyaan klimaks penuh inti, sambil memperlihatkan undangan putih berpita bening glamor yang sejak tadi digenggamnya, ku pikir dia akan mengajakku menghadiri suatu acara, tapi ternyata tidak, aku salah, aku terlalu ge-er. Dia diam dan menyodorkan undangan putih itu. Kubaca perlahan dan ku temukan namanya yang tertera rapi dengan huruf-huruf yang berdiri megah di situ. NICHOLAS WICAKSONO. Ternyata dia akan segera menikah. Tapi ada yang aneh, tidak ada satu huruf pun yang terpajang untuk mengisi kolom mempelai wanita, tidak ada waktu dan tempat pernikahan. Sontak aku bertanya, loh kok undangannya gini kak? Mana nama dan perwakilan mempelai wanitanya? Dengan tegasnya kak Nico menjawab, silahkan kamu lengkapi undangan itu. Aku ingin melihat orang kepercayaanku sendiri yang mengisi undangan itu sekaligus penentu teka-teki hidupku. Inilah cara melamar yang tidak biasa ku temukan. Tuhan, aku bingung. Kuakui ketidakpantasanku ini, dia sosok yang sempurna. Kebahagiaan ini sudah mencapai stadium empat dengan penantian penyakit stadium satu. Tanganku kaku Tuhan, otakku beku kala itu juga. Inilah kali kedua aku pingsan, di tempat yang berbeda namun di hadapan profesi yang sama. Dokter. Kak Nico mengangkatku ke kamar, memeriksaku. Bisa ku rasakan kekhawatiran dan ketakutan yang menyergapnya saat itu. Ternyata cairan merah segar keluar dari hidungku. Aku mimisan. Tante Tiara yang ternyata juga ikut memeriksaku, entah mengambil sampel apa dariku yang diberikan langsung ke kak Nico. Mungkin kamu cuman kecapean sayang, matahari memang terik bulan ini. Istirahat aja ya, kata tante dengan lembut lalu beranjak meninggalkan kamarku. Kak Nico malah ga keluar-keluar. Udah, ga usah dipikirin dulu yang tadi, kakak ga maksa kok, ini tuh ga limited edition heii, unlimited malah. Dia berusaha bercanda seadanya. Sampai akhirnya waktuku untuk meninggalkan rumah yang serasa surga ini harus ku lepaskan. Kak Nico yang mengantarku sampai Bandara Soe-Ta. “Entar kalo udah sampai kabarin ya Din. Ini multivitamin buat kamu, di minum ya, hati-hati di jalan, ucapnya”. Gileee, perhatian banget kan???
Fly fly fly… hfiiiiiiiiiiiiiiuuuuh, 3 jam kemudian---Sultan Hasanuddin airport. Taxi-rumah-sampai. Kring kriingg, from kak Nico. Ya ampuun ni orang, tepat banget feelingnya. 3 hari kemudian dia menelpon lagi. Tidak ada pertanyaan basa basi. Dia mengabarkan tentang kondisiku berdasarkan hasil pemeriksaannya. Persis, sama seperti dokter Razad. Iya kak, aku udah tau itu kok. Im okay. Diny, ini tuh penyakit serius, ga boleh main-main. Dia betul-betul menginginkan kesehatanku ternyata, dari jauh dia mengontrolku, diam-diam kak Nico berhubungan dengan dokter Razad. Mereka menyeimbangkan antara pengobatan rumah sakit dan pengobatan alternatif, dan tetap fokus pada obat-obatan herbal. Bersyukurnya aku memiliki mereka. Dan, semester enam pun datang. Welcome yaa J --- KKN J
Sebelum berangkat ke lokasi masing-masing, kami dibekali dengan berbagai macam pengetahuan dan etika serta motivasi dalam menghadapi kehidupan. Satu hal yang paling ku ingat dari pembekalan itu, seorang dosen yang mengidap penyakit berbahaya dan mempunyai tumor atau apalah namanya yang berada tepat di samping jantungnya divonis oleh dokter hanya akan mampu bertahan hidup selama 3 bulan. Tapi dengan semangat, tekad, dan pengobatan alternatif serta doa yang menyertainya, bertahun-tahun lamanya ia masih teguh berdiri dan menyampaikan kisah hidupnya layaknya sang motivator. Hal ini yang menggugahku untuk tetap tersenyum pada dunia, apapun keadaanku. Bila masa kontrakku di dunia sudah habis, bukankah aku masih bisa memperpanjang kontrak itu dengan doa dan usahaku. Waah, bahagia itu kembali menari di batinku. Menyingkirkan kerapuhan itu. Dengan memencet tombol-tombol di ponselku, ku save nomor HP bapak motivator ini. Diam-diam aku menghubunginya, dan mencoba berkonsultasi dengannya, mencurahkan segala uneg-uneg yang kumiliki saat itu. Dan akhirnya, bapak ini berniat bertemu denganku dan didampingi oleh istri dan anak tunggalnya. Kami bertemu di Mall Panakkukang saat jam makan siang. Konsul, curhat, dan makan, semuanya FREE !!! inilah cara Allah mempertemukanku dengan orang-orang sukses pilihannya, jika saja aku tidak mengidap penyakit ini, mana mungkin aku bertemu dan makan siang bersama keluarga yang satu ini. Akan selalu ada cerita suka di balik duka guys…
Melihat pengumuman lokasi KKN, aku ditempatkan di tempat dingin, daerah pegunungah dengan sinyal di bawah angka satu. Teman-teman KKN seposko yang ku kira akan menyenangkan, sebagian di antaranya ternyata menyebalkan. Untuk menelpon saja harus mendekati bahkan memanjat pohon untuk mendapatkan sinyal, bahkan berlari menuju tower di sekitar kantor desa. Anjing kurapan di mana-mana, mesti ekstra hati-hati. Sudahlah, dua bulan akan berlalu dengan berbagai cerita di sini. Dan bukan tanpa terasa, sangaat terasa hingga Agustus pun menjemput penarikan KKN ini dengan menarik diri masing-masing ke magnet home sweet home or hospital sweet hospital. Semua rahasia tertutup rapat. Tidak ada celah duka yang berhembus. Back to campuss :)

… Bersambung …
_cerita ini hanya fiktif belaka, jika terdapat nama, dan kisah yang sama, artinya kita punya kontak batin, hihihihi_

2 komentar:

  1. Heiiii,. Benar ini fiktif???
    Tapi kok kek kenal sama Diny?? Kisahnya pun mirippp...
    This is a confession???

    BalasHapus
  2. iya ini cuma fiktif, karena tidak taw mau mulai darimana, jadi yaa dikombinasikan sama sedikit kisah nyata wktu smster 5. gitu loo :)

    BalasHapus