Kamis, 05 Mei 2011

PENUH TANDA TANYA ?????

copyan yaa temans :)
  • tulisan ini akan panjang, membosankan dan SANGAT TIDAK JELAS (silahkan di baca kalau anda kurang kerjaan atau penasaran tapi jangan berharap dapat sesuatu baca tulisan ini)
  • tulisan ini sebagian besar tulisan orang lain tapi mohon maaf karena sumber tulisan asli yang saya kutip tidak bisa saya sertakan di sini
  • tulisan ini sangat banyak bagian yang saya "potong" jadi mungkin anda akan mendapat bagian yang sedikit tidak nyambung
Tiga keindahan hakiki dari hidup,
kebebasan jiwa, bebas dan lepas
kehangatan hati, hangat dan nyaman

dan ketenangan pikiran, tenang dan damai
Takkan muncul bila ditunggu,
datang bila dicari,
terasa bila dipahami
Satu tiada lain tiada
Maka,
terkutuk yang merenggutnya,
jahanam yang mengendalikannya,
kasihan yang tak kuasa memilikinya
Kesadaranku adalah pengakuanku, bahwa,
betapa ingin ku mencintaimu, aku sungguh-sungguh
Namun cintaku takkan pernah bersemi
Berharap dibalas saja ia tak berani
Karena tahu itu menyakitkan
Karena cintalah si jahanam, si terkutuk,
dan si pembuat kemalangan itu Lalu tersodor kasih sayang, hanya untukmu,
gadisku
Sejauh apa yang bisa kuberikan,
di dunia yang terbentuk oleh keberadaan

kau dan aku,  yang ter-nyata dari segala ilusi.........
--------hakekat dunia kecil--------------

Dunia kecil. Satu bagian dari kehidupan individu, dimana tak seorangpun bisa menjamahnya, selain individu itu sendiri. Dunia yang terlahir dari kesadaran akan sebuah luka, yang ditimbulkan dari kenyataan-kenyataan pahit dunia nyata. Keterikatan, pola pikir masyarakat, tata dan aturan. Semua tak ada di dunia kecil. Hanya ada kebebasan, kehangatan, dan ketenangan. Kebahagiaan hidup yang hakiki.
Orang bilang, dunia semacam itu hanya ada dalam mimpi. Dan memang, semua itu hanya sebuah ilusi. Sebuah mimpi yang akan lenyap menjadi kenangan, saat mata membuka.

dunia kecil. tempat yang nyaman yang kadang entah bagaimana saya tiba-tiba sudah berada di dalam. saya kurang tahu apakah itu memang terlahir dari sebuah luka. yang ku tahu di sana memang ada kehangatan hati dan ketenangan pikiran. soal kebebasan jiwa saya kurang bisa mendefisikannya

Ray dan Audrey. Mereka bertemu dalam dunia itu. Dunia yang mereka bentuk bersama. Tak satupun yang mengganggu mereka di sana. Tempat dimana mereka bisa saling menyayangi, memandang, merasakan kehangatan yang mengalir (tulisan miring itu pakai kata-kata ku sendiri dan tidak sesuai dengan naskah asli) tanpa khawatir orang-orang itu akan merenggutnya.

Mereka jatuh cinta, itu sebuah kesalahan yang meskipun mereka sadari namun tetap mereka jalani, dan terluka saat cinta itu memaksa mereka kembali pada kenyataan. Bahwa mereka takkan pernah saling memiliki. Ya. Memiliki. Sebuah hakekat menyedihkan dari kata cinta.

Lalu dunia itu pun berakhir.
Mata-mata pun terbuka. (mereka terpisah)
---------------------------------------- 

kita juga bertemu di sana. bedanya tidak pernah ada cerita apapun di titik itu, hanya bertemu. walau hanya sekedar bertemu, kau tetap bisa memberikan kehangatan dan kenyamanan di hati ku yang kacau balau, dan mengigatkan sekaligus menegur ku atas "kesalahan ku", dengan melihatmu melakukan "kesalahan" yang sama.

sembilan tahun kemudian.

----saat itu Ray berlibur di Bali----

"Ray? Ray?" suara-suara memanggilnya. Ray menggeliat, membuka matanya dan menemukan kegelapan menyelimuti pandangannya. Nafasnya terasa berat. Ray menurunkan tepian selimut, mendapati kamar yang masih terang benderang oleh cahaya matahari. Mata pemuda itu masih terasa lelah, sehingga ia memilih untuk terpejam kembali.
"Ugh," gumamnya, sekali lagi menggeliatkan tubuhnya, menikmati suara gemeratak yang keluar saat tulang-tulangnya bergesek. "Ray?" satu suara lagi memanggilnya. Bagaikan disambar petir, Ray tersadar bahwa ada seseorang yang berada di luar pintu. Pemuda itu menyelinap dari balik selimut, sedikit mengeluh karena ia belum bersiap sama sekali.
"Ray? Ini aku. Buka dong?" lagi suara gadis itu terdengar.
Ray mengangkat bahunya dan melangkah ke arah pintu kamar. Saat pemuda itu membuka pintu, yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang selop berwarna merah muda, lalu betis berkulit putih bersih, lalu...
"Ray?" suara gadis itu menyeret matanya ke atas. Ray mengangkat kepalanya, dan melihat sebuah senyuman yang mengembang.
"Audrey... Lan(nama kecil gadis itu)..?" Ray menggumam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Sudah lama sekali, Ray," gadis di depan Ray berkata.
Ray masih menatap Audrey. Lama. Masih juga tak percaya pada pandangannya.
Gadis dengan kaca mata minus, mata sipit yang menatap nakal di baliknya, rambut sepunggung berwarna kemerahan, wajah berbintik cokelat, bibir merah muda dengan senyum dikulum. Serasa baru kemarin Ray bertemu dengan gadis itu, yang sekarang berdiri di hadapannya, bukan sebagai bunga mimpi, melainkan dalam kenyataan.
"Lan ....," bisik pemuda itu.
"Iya, ini aku," gadis di depannya berkata lagi, lalu mendorong tubuh Ray dari pintu dan memeluknya..

"It's been so long, Lan," bisik Ray. Gadis yang terisak itu mengangguk.
"Let me stay like this," Audrey menyahut tak lama kemudian.

Ada sejuta rasa yang berkecamuk dalam satu dekapan.
Ada selaksa kata tak terungkap dalam diam. ..

melihatmu lagi  setelah beberapa lama tak bertemu. kau "sedikit" berbeda, meski kau yang dulu masih bisa kulihat di sana.

"Lan," akhirnya Ray berbisik, "aku memang merindukan kamu."
"Aku punya sejuta pertanyaan. Mungkin sejak dulu kusimpan. Tapi...."
"Kenapa ngga nanya?"
"Aku....," Ray terdiam sejenak, ".....aku takut akan merusak segalanya."
"Segalanya?"
"Ya. Pertemuan ini. Semuanya. Aku cuma takut."
Audrey tertawa kecil,
"Ray," bisik si gadis, "kamu lebih bodoh daripada aku."
"Mungkin," bisik Ray, "aku ngga mau membebani otakku dengan pemikiran yang macam-macam. Aku ngga mau kehilangan setiap waktu pun"

Tak ada pemikiran yang membebani.
Tak ada titik-titik yang harus diisi.
Tak ada tanda tanya yang harus terjawab.
Ray tahu ia sudah kembali dalam ruang kecil itu.
Ray tahu Audrey pun menyadarinya.
Di `dunia kecil'.
Dunia yang penuh kebebasan.
Dunia yang terasing dari dunia masing-masing.
Persis seperti apa yang pernah mereka berdua jalani. Ray dan Audrey. 

ya, dibandingkan bertanya tentang hal-hal tidak penting (hal-hal yang mebuat mu "sedikit" berbeda dari kau yang dulu) yang terjadi di selang waktu di mana kita tak bertemu. lebih menyenagkan menghabiskan waktu yang sangat terbatas yang ku miliki bersamamu dengan obrolan -obrolan ringan. dititik itu dengan "cara mu", kau kembali mengingatkan dan menegur apa yang salah. terimakasih.

----singkat cerita waktu yang mereka miliki bersama habis ^^----

Ray melepaskan sabuk pengamannya. Mengangkat tubuh dan hendak mengambil tas yang ia letakkan di bagasi penumpang, saat matanya menatap sosok Audrey dua deret di belakang tempat duduknya. Mereka memang tak duduk bersama, seperti yang sudah mereka sepakati di biro perjalanan. Waktu itu, entah mengapa, keduanya merasa itulah yang terbaik, memberikan waktu bagi masing-masing untuk berpikir dan merenung.

Ray tersenyum saat melihat Audrey asik berbincang dengan seorang pria bertubuh tambun, bermata sipit, dan berpakaian eksekutif warna kuning. Pemuda itu mengambil tasnya dan melangkah menghampiri.
"Lan," panggil Ray, gadis itu menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya. Begitu juga dengan si lelaki tambun, yang menatap dengan pandangan kurang senang.
"Sepertinya kamu tidak turun di Surabaya," ucap Ray.
Audrey menganggukkan kepalanya.
"Jadi," kata Ray sambil menunduk, "aku pulang, ya?"
Usai berkata demikan, Ray mengangkat kepalanya dan menyeringai.
"Jangan khawatir, Lan," katanya, "I will survive."
"Ray," Audrey memanggil, lalu menyodorkan selembar kertas yang dilipat dua.

"Jangan dibuka sebelum turun," ucap si gadis sambil tersenyum. Ray mengangguk, memandang sekilas pada si lelaki tambun, lalu membalikkan tubuh. Ada cemburu di hati si pemuda, yang harus segera dihilangkannya.
Ray membalikkan tubuh di depan pintu masuk bandara. Melihat pesawat yang masih diam di tempatnya. Sepuluh menit lagi pesawat itu akan lepas landas. Membawa serta semua yang tak mungkin lagi bisa diraihnya....


Ray merogoh kertas di sakunya. Pemuda itu membuka dan membaca kata demi kata yang tertulis rapi:  "Aku mencintaimu, Ray. Dahulu, sekarang, dan selamanya. Kejarlah pesawatku. Ambil aku dan mari kita merasa bersalah karena saling mencintai. -lan-."  Ray tersenyum, matanya lembali menatap nanar ke arah pesawat. Masih cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan.  Tapi kakinya begitu kuat menancap di tanah. Ini Surabaya. Ini kehidupannya.
Banyak yang mengharapkannya, lebih banyak lagi yang tak bisa dikesampingkannya. Jemarinya meremas kertas itu menjadi gumpalan. Ray membawa gumpalan itu ke bibirnya, mengecup, lalu membuang kertas itu jauh-jauh.
"Thanks, Lan, tapi jangan lagi dunia kecil," bisiknya pada udara. Ia tahu Audrey masih bisa melihatnya dari tempat dimana gadis itu duduk. Membalikkan tubuh, Ray merasa kakinya tak lagi berat. Menyeringai, pemuda itu melangkahkan kakinya. Mantap. Tanpa ragu-ragu. Sejenak ia merasa sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin kebekuan yang selama ini bersarang di hatinya berkurang lagi beberapa persen. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa benar-benar menjadi seorang manusia biasa.

Ray tak perduli lagi dengan David, yang pasti menunggu kabar baik darinya di Surabaya. Ia sudah berkata tak ingin memikirkan apapun selama bersama Audrey, dan ia benar-benar melakukannya. Lagipula Ray berpikir, untuk apa? Sementara ia bisa saja menelepon Audrey setiap saat dan meminta bantuan, yang ia tahu takkan ditolak oleh si gadis.

Jay menjemput Ray di bandara. Pemuda itu tertawa melihat sahabatnya bertambah hitam. Setidaknya sampai beberapa minggu ke depan, mereka akan benar-benar menyandang predikat `saudara kembar'.
Satu pertanyaan Jay di dalam mobil.
"Apa yang terjadi di Bali?"
Ray hanya tersenyum, menatap ke arah pohon-pohon dan gedung yang berlari.
"Apa? Hanya sebuah proses menyadari bahwa cinta itu sifat manusia yang takkan pernah hilang. Dan yang terpenting, ada satu sisi baik sekaligus yang menakutkan dari cinta selain hasrat memiliki, yaitu: keabadian. Aku sudah lupa tentang hal itu, tapi seseorang mengingatkannya lagi padaku." 

hasrat memiliki dan keabadian. ya, selama saya masih belum mampu menarik siapapun (tidak harus kau) dari dunia kecil ke dunia nyata. kurasa cinta itu tidak boleh ada. tidak ada gunanya menghabiskan waktu lebih lama di dunia kecil itu.
  • tulisan ini akan panjang, membosankan dan SANGAT TIDAK JELAS (silahkan di baca kalau anda kurang kerjaan atau penasaran tapi jangan berharap dapat sesuatu baca tulisan ini)
  • tulisan ini sebagian besar tulisan orang lain tapi mohon maaf karena sumber tulisan asli yang saya kutip tidak bisa saya sertakan di sini
  • tulisan ini sangat banyak bagian yang saya "potong" jadi mungkin anda akan mendapat bagian yang sedikit tidak nyambung
Tiga keindahan hakiki dari hidup,
kebebasan jiwa, bebas dan lepas
kehangatan hati, hangat dan nyaman
dan ketenangan pikiran, tenang dan damai
Takkan muncul bila ditunggu,
datang bila dicari,
terasa bila dipahami
Satu tiada lain tiada
Maka,
terkutuk yang merenggutnya,
jahanam yang mengendalikannya,
kasihan yang tak kuasa memilikinya
Kesadaranku adalah pengakuanku, bahwa,
betapa ingin ku mencintaimu, aku sungguh-sungguh
Namun cintaku takkan pernah bersemi
Berharap dibalas saja ia tak berani
Karena tahu itu menyakitkan
Karena cintalah si jahanam, si terkutuk,
dan si pembuat kemalangan itu Lalu tersodor kasih sayang, hanya untukmu,
gadisku
Sejauh apa yang bisa kuberikan,
di dunia yang terbentuk oleh keberadaan

kau dan aku,  yang ter-nyata dari segala ilusi.........
--------hakekat dunia kecil--------------

Dunia kecil. Satu bagian dari kehidupan individu, dimana tak seorangpun bisa menjamahnya, selain individu itu sendiri. Dunia yang terlahir dari kesadaran akan sebuah luka, yang ditimbulkan dari kenyataan-kenyataan pahit dunia nyata. Keterikatan, pola pikir masyarakat, tata dan aturan. Semua tak ada di dunia kecil. Hanya ada kebebasan, kehangatan, dan ketenangan. Kebahagiaan hidup yang hakiki.
Orang bilang, dunia semacam itu hanya ada dalam mimpi. Dan memang, semua itu hanya sebuah ilusi. Sebuah mimpi yang akan lenyap menjadi kenangan, saat mata membuka.

dunia kecil. tempat yang nyaman yang kadang entah bagaimana saya tiba-tiba sudah berada di dalam. saya kurang tahu apakah itu memang terlahir dari sebuah luka. yang ku tahu di sana memang ada kehangatan hati dan ketenangan pikiran. soal kebebasan jiwa saya kurang bisa mendefisikannya

Ray dan Audrey. Mereka bertemu dalam dunia itu. Dunia yang mereka bentuk bersama. Tak satupun yang mengganggu mereka di sana. Tempat dimana mereka bisa saling menyayangi, memandang, merasakan kehangatan yang mengalir (tulisan miring itu pakai kata-kata ku sendiri dan tidak sesuai dengan naskah asli) tanpa khawatir orang-orang itu akan merenggutnya.

Mereka jatuh cinta, itu sebuah kesalahan yang meskipun mereka sadari namun tetap mereka jalani, dan terluka saat cinta itu memaksa mereka kembali pada kenyataan. Bahwa mereka takkan pernah saling memiliki. Ya. Memiliki. Sebuah hakekat menyedihkan dari kata cinta.

Lalu dunia itu pun berakhir.
Mata-mata pun terbuka. (mereka terpisah)
---------------------------------------- 

kita juga bertemu di sana. bedanya tidak pernah ada cerita apapun di titik itu, hanya bertemu. walau hanya sekedar bertemu, kau tetap bisa memberikan kehangatan dan kenyamanan di hati ku yang kacau balau, dan mengigatkan sekaligus menegur ku atas "kesalahan ku", dengan melihatmu melakukan "kesalahan" yang sama.

sembilan tahun kemudian.

----saat itu Ray berlibur di Bali----

"Ray? Ray?" suara-suara memanggilnya. Ray menggeliat, membuka matanya dan menemukan kegelapan menyelimuti pandangannya. Nafasnya terasa berat. Ray menurunkan tepian selimut, mendapati kamar yang masih terang benderang oleh cahaya matahari. Mata pemuda itu masih terasa lelah, sehingga ia memilih untuk terpejam kembali.
"Ugh," gumamnya, sekali lagi menggeliatkan tubuhnya, menikmati suara gemeratak yang keluar saat tulang-tulangnya bergesek. "Ray?" satu suara lagi memanggilnya. Bagaikan disambar petir, Ray tersadar bahwa ada seseorang yang berada di luar pintu. Pemuda itu menyelinap dari balik selimut, sedikit mengeluh karena ia belum bersiap sama sekali.
"Ray? Ini aku. Buka dong?" lagi suara gadis itu terdengar.
Ray mengangkat bahunya dan melangkah ke arah pintu kamar. Saat pemuda itu membuka pintu, yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang selop berwarna merah muda, lalu betis berkulit putih bersih, lalu...
"Ray?" suara gadis itu menyeret matanya ke atas. Ray mengangkat kepalanya, dan melihat sebuah senyuman yang mengembang.
"Audrey... Lan(nama kecil gadis itu)..?" Ray menggumam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Sudah lama sekali, Ray," gadis di depan Ray berkata.
Ray masih menatap Audrey. Lama. Masih juga tak percaya pada pandangannya.
Gadis dengan kaca mata minus, mata sipit yang menatap nakal di baliknya, rambut sepunggung berwarna kemerahan, wajah berbintik cokelat, bibir merah muda dengan senyum dikulum. Serasa baru kemarin Ray bertemu dengan gadis itu, yang sekarang berdiri di hadapannya, bukan sebagai bunga mimpi, melainkan dalam kenyataan.
"Lan ....," bisik pemuda itu.
"Iya, ini aku," gadis di depannya berkata lagi, lalu mendorong tubuh Ray dari pintu dan memeluknya..

"It's been so long, Lan," bisik Ray. Gadis yang terisak itu mengangguk.
"Let me stay like this," Audrey menyahut tak lama kemudian.

Ada sejuta rasa yang berkecamuk dalam satu dekapan.
Ada selaksa kata tak terungkap dalam diam. ..

melihatmu lagi  setelah beberapa lama tak bertemu. kau "sedikit" berbeda, meski kau yang dulu masih bisa kulihat di sana.

"Lan," akhirnya Ray berbisik, "aku memang merindukan kamu."
"Aku punya sejuta pertanyaan. Mungkin sejak dulu kusimpan. Tapi...."
"Kenapa ngga nanya?"
"Aku....," Ray terdiam sejenak, ".....aku takut akan merusak segalanya."
"Segalanya?"
"Ya. Pertemuan ini. Semuanya. Aku cuma takut."
Audrey tertawa kecil,
"Ray," bisik si gadis, "kamu lebih bodoh daripada aku."
"Mungkin," bisik Ray, "aku ngga mau membebani otakku dengan pemikiran yang macam-macam. Aku ngga mau kehilangan setiap waktu pun"

Tak ada pemikiran yang membebani.
Tak ada titik-titik yang harus diisi.
Tak ada tanda tanya yang harus terjawab.
Ray tahu ia sudah kembali dalam ruang kecil itu.
Ray tahu Audrey pun menyadarinya.
Di `dunia kecil'.
Dunia yang penuh kebebasan.
Dunia yang terasing dari dunia masing-masing.
Persis seperti apa yang pernah mereka berdua jalani. Ray dan Audrey. 

ya, dibandingkan bertanya tentang hal-hal tidak penting (hal-hal yang mebuat mu "sedikit" berbeda dari kau yang dulu) yang terjadi di selang waktu di mana kita tak bertemu. lebih menyenagkan menghabiskan waktu yang sangat terbatas yang ku miliki bersamamu dengan obrolan -obrolan ringan. dititik itu dengan "cara mu", kau kembali mengingatkan dan menegur apa yang salah. terimakasih.

----singkat cerita waktu yang mereka miliki bersama habis ^^----

Ray melepaskan sabuk pengamannya. Mengangkat tubuh dan hendak mengambil tas yang ia letakkan di bagasi penumpang, saat matanya menatap sosok Audrey dua deret di belakang tempat duduknya. Mereka memang tak duduk bersama, seperti yang sudah mereka sepakati di biro perjalanan. Waktu itu, entah mengapa, keduanya merasa itulah yang terbaik, memberikan waktu bagi masing-masing untuk berpikir dan merenung.

Ray tersenyum saat melihat Audrey asik berbincang dengan seorang pria bertubuh tambun, bermata sipit, dan berpakaian eksekutif warna kuning. Pemuda itu mengambil tasnya dan melangkah menghampiri.
"Lan," panggil Ray, gadis itu menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya. Begitu juga dengan si lelaki tambun, yang menatap dengan pandangan kurang senang.
"Sepertinya kamu tidak turun di Surabaya," ucap Ray.
Audrey menganggukkan kepalanya.
"Jadi," kata Ray sambil menunduk, "aku pulang, ya?"
Usai berkata demikan, Ray mengangkat kepalanya dan menyeringai.
"Jangan khawatir, Lan," katanya, "I will survive."
"Ray," Audrey memanggil, lalu menyodorkan selembar kertas yang dilipat dua.

"Jangan dibuka sebelum turun," ucap si gadis sambil tersenyum. Ray mengangguk, memandang sekilas pada si lelaki tambun, lalu membalikkan tubuh. Ada cemburu di hati si pemuda, yang harus segera dihilangkannya.
Ray membalikkan tubuh di depan pintu masuk bandara. Melihat pesawat yang masih diam di tempatnya. Sepuluh menit lagi pesawat itu akan lepas landas. Membawa serta semua yang tak mungkin lagi bisa diraihnya....


Ray merogoh kertas di sakunya. Pemuda itu membuka dan membaca kata demi kata yang tertulis rapi:  "Aku mencintaimu, Ray. Dahulu, sekarang, dan selamanya. Kejarlah pesawatku. Ambil aku dan mari kita merasa bersalah karena saling mencintai. -lan-."  Ray tersenyum, matanya lembali menatap nanar ke arah pesawat. Masih cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan.  Tapi kakinya begitu kuat menancap di tanah. Ini Surabaya. Ini kehidupannya.
Banyak yang mengharapkannya, lebih banyak lagi yang tak bisa dikesampingkannya. Jemarinya meremas kertas itu menjadi gumpalan. Ray membawa gumpalan itu ke bibirnya, mengecup, lalu membuang kertas itu jauh-jauh.
"Thanks, Lan, tapi jangan lagi dunia kecil," bisiknya pada udara. Ia tahu Audrey masih bisa melihatnya dari tempat dimana gadis itu duduk. Membalikkan tubuh, Ray merasa kakinya tak lagi berat. Menyeringai, pemuda itu melangkahkan kakinya. Mantap. Tanpa ragu-ragu. Sejenak ia merasa sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin kebekuan yang selama ini bersarang di hatinya berkurang lagi beberapa persen. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa benar-benar menjadi seorang manusia biasa.

Ray tak perduli lagi dengan David, yang pasti menunggu kabar baik darinya di Surabaya. Ia sudah berkata tak ingin memikirkan apapun selama bersama Audrey, dan ia benar-benar melakukannya. Lagipula Ray berpikir, untuk apa? Sementara ia bisa saja menelepon Audrey setiap saat dan meminta bantuan, yang ia tahu takkan ditolak oleh si gadis.

Jay menjemput Ray di bandara. Pemuda itu tertawa melihat sahabatnya bertambah hitam. Setidaknya sampai beberapa minggu ke depan, mereka akan benar-benar menyandang predikat `saudara kembar'.
Satu pertanyaan Jay di dalam mobil.
"Apa yang terjadi di Bali?"
Ray hanya tersenyum, menatap ke arah pohon-pohon dan gedung yang berlari.
"Apa? Hanya sebuah proses menyadari bahwa cinta itu sifat manusia yang takkan pernah hilang. Dan yang terpenting, ada satu sisi baik sekaligus yang menakutkan dari cinta selain hasrat memiliki, yaitu: keabadian. Aku sudah lupa tentang hal itu, tapi seseorang mengingatkannya lagi padaku." 

hasrat memiliki dan keabadian. ya, selama saya masih belum mampu menarik siapapun (tidak harus kau) dari dunia kecil ke dunia nyata. kurasa cinta itu tidak boleh ada. tidak ada gunanya menghabiskan waktu lebih lama di dunia kecil itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar